Senin, 18 April 2016

Ada Upaya Penokohan Ahok

Basuki Tjahaja Purnama (Intelijen)
Basuki Tjahaja Purnama (Intelijen)
Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS), Guspiabri Sumowigeno melihat ada sebuah upaya penokohan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masuk dalam tokoh nasional.
Menurutnya, sangat janggal ketika Ahok pada level Gubernur melawan begitu banyak pihak, dari tokoh penting partai, Menteri sampai lembaga negara setaraf Badan Pengawas Keuangan (BPK).
“Ini tidak lazim dengan level daerah, walaupun Jakarta kan daerah, membuat friksi dengan begitu banyak tokoh lainnya,” kata Guspiarbri, Jumat (15/4).
Menurutnya hal ini belum pernah terjadi. Seorang pimpin daerah melawan begitu banyak tokoh nasional dan lembaga negara. Ada beberapa kali pemimpin daerah bersitegang dengan satu lembaga. Tapi tidak pernah ada yang membuat begitu banyak friksi dengan banyak lembaga.
Ia mempertanyakan maksud dari Ahok untuk terus membuat friksi dengan banyak pihak. “Apakah mau Gubernur DKI atau lebih dari itu,” katanya.
Menurut Guspiabri, ada kemungkinan Ahok akan membuat suatu konsolidasi kelompok politik baru. Karena sangat berlebihan bila ia hanya mempertahankan jabatan Gubernur Jakarta dengan menciptakan begitu banyak friksi. Guspiabri melihat pesan yang ingin disampaikan oleh Ahok ialah Ahok independen terhadap kekuatan politik dari luar.
“Saya menduga ada settingan lain yang sedang dipersiapkan atau Ahok sendiri mempersiapkan diri lebih dari Gubernur,”tambahnya.

Pertemuan dengan pengusaha

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dikabarkan kerap bertemu dengan para pengusaha properti membuat banyak pihak bertanya-tanya.
Karena tidak semua pengusaha dapat melakukan pertemuan rutin dengan Gubernur Jakarta. “Apa pengusaha beras, pengusaha kerupuk, pengusaha kelontong juga ikut ketemu dengan frekuensi yang sama?” katanya, Jumat (15/4).
Guspiabri menambahkan pernyataan Sunny Tanuwidjaja staf khusus Ahok mengindikasi betapa seringnya pertemuan antara Gubernur dan pengusaha properti dilakukan. Menurutnya bila memang membahas tentang pertumbuhan ekonomi properti Jakarta, Ahok dapat melakukan pertemuan dengan Asosiasi Real Estate Indonesia.
Karena, tambahnya, sebagai pemerintah, Gubernur harus melakukan pertemuan dengan institusi bukan individual. Dengan begitu pertemuan-pertemuan tersebut tidak memunculkan banyak pertanyaan. “Jangan individual apalagi pertemuan rutin yang berkali-kali,” tambahnya.
Selain itu, lanjut Guspiabri, untuk apa pertemuan-pertemuan tersebut diatur oleh staf khusus bukan staf organik. Karena di kantor Gubernur pun sudah ada staf yang mengatur pertemuan-pertemuan Gubernur dengan berbagai kalangan.
“Harus terdaftar lalu lintas orang yang bertamu, agendanya apa harus jelas,” katanya.
Staf khusus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Sunny Tanuwidjaja mengungkap adanya pertemuan Ahok dengan Chairman Agung Sedayu Group, Sugiyanto Kusuma (Aguan) sebulan sekali.
“Kalau dengan Pak Aguan mungkin sebulan sekali lah kurang lebih seperti itu. Yang lain juga begitu ketemunya sebulan sekali kok, rata-rata sama enggak berbeda jauh,” ujar Sunny di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (11/4/2016).
Sunny menampik dirinya yang mengatur pertemuan. Menurut dia, Ahok yang menyebut ingin bertemu dengan pengusaha tersebut.
“Bukan ngatur lho ya, Pak Ahok bilang saya ingin ketemu dia, bisa dijadwalkan enggak? atau pengusahanya bilang saya mau ketemu Pak Ahok dijadwalkan bisa enggak? Sama mau Pak Aguan, Pak Trihatma, mau siapa pun enggak semua juga lewat saya, kadang-kadang bisa langsung, bisa lewat staf lain juga bisa. tapi saya ngatur juga kadang-kadang kok,” ungkap Sunny. (
Menurut dia, pengusaha memiliki persepsi jika Gubernur DKI Jakarta dekat dengan Presiden.
“Kebanyakan kalau misalkan pengusaha-pengusaha itu persepsinya, ini kan persepsinya. Pak Gubernur itu dekat dengan Presiden, bisa memberikan masukan dengan Presiden, persepsinya seperti itu. Jadi mereka suka ngobrol dengan Pak Gubernur harapannya bisa disampaikan kepada Pak Presiden. Kira-kira begitu,” tuturnya.

Reklamasi Teluk Jakarta

Foto proyek reklamasi teluk jakarta. (Republika/Reiny Dwinanda)
Foto proyek reklamasi teluk jakarta. (Republika/Reiny Dwinanda) 
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memutuskan untuk menginstruksikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pengembang agar menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta sementara. Alasannya, pelaksanaan proyek reklamasi selama ini dijalankan tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu, Susi juga menilai bahwa pelaksanaan reklamasi harus dipayungi oleh rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai zonasi wilayah reklamasi yang semestinya dikeluarkan oleh pemerintah provinsi.
“Faktanya, pelaksanaan reklamasi dilakukan tanpa rekomendasi dan tanpa perda zonasi wilayah pesisir. Kami ingin proses reklamasi dihentikan sementara sampai ketentuan ini sesuai dan sudah dipenuhi seperti yang dimintakan dalam peraturan perundangan,” ujar Susi, di kediamannya, di Jakarta Selatan, Jumat (15/4).
Susi Pudjiastuti - sidomi.com
Susi Pudjiastuti – sidomi.com
Selain itu, Susi juga mengatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk memutuskan penghentian sementara saat ini. KLHK, kata Susi, menerbitkan Keputusan Menteri 301 Tahun 2016 untuk melakukan kajian dan pengawasan reklamasi pantai utara. Ia menyebutkan, reklamasi yang dilakukan di Teluk Jakarta bervariasi ukurannya, dari 60 hektare sampai 441 hektare per pulau. Susi menegaskan, reklamasi pada dasarnya diperbolehkan asal memenuhi langkah yang sesuai dengan aturan yang ada. Ia menilai bahwa pada dasarnya pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berada dalam satu pandangan. Penghentian sementara ini akan dicabut ketika pengembang dan pemerintah provinsi memenuhi syarat di atas sekaligus menjamin keberadaan akses bagi masyarakat umum dan pemerintah atas pantai dan ruang terbuka di pesisir.
“Karena tidak tertata pengelolaan kawasan pesisir makanya masyarakat Jakarta tidak punya akses kepada pantai secara gratis dan nyaman karena semua pantai sudah menjadi milik perorangan atau korporasi sehingga publik tidak ada akses secara bebas. Ini yang harus ditata dan ini adalah salah satu ketentuan yang harus dipenuhi sebelum lanjutkan pembangunan pulau tersebut,” ujarnya.
Susi juga meminta kepada pengembang memastikan nelayan tetap memiliki akses ke penghidupan sehari-hari dan direlokasi ke tempat yang layak. Susi menyatakan baru akan membuka izin pelaksanaan reklamasi apabila sejumlah syarat di atas telah dilakukan.
“Kita duduk bersama menyelesaikan persoalan yang belum beres. Jakarta akan cantik kalau punya pulau di tengah laut, tapi kita tidak tahu kalau akses ke pantai tidak ada. Ditjen pesisir pastikan bahwa negosiasi, bahwa pelaksanaan kembali dibukanya penghentian terhambat, kita dapat pantai dan pemerintah punya space,” ujarnya.
Susi menilai penghentian sementara proyek reklamasi ini adalah kesempatan baik bagi pemerintah dan pengembang untuk melakukan restrukturisasi dan rekonstruksi atas perizinan yang ada.

KPK Periksa Kepala Bappeda Soal Suap Reklamasi

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuti Kusumawati kembali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tuti diperiksa terkait kasus dugaan suap Raperda Reklamasi di Pantai Utara Jakarta.
Pelaksana harian Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati mengatakan Tuti diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut. “Dia diperiksa sebagai saksi untuk MSN (Sanusi),” kata Yuyuk saa dikonfirnasi, Jumat (15/4).
Tuti pun memenuhi panggilan KPK. Namun, Tuti enggan memberikan komentar terkait pemeriksaannya kali ini. Tuti pun langsung masuk ke dalam Gedung KPK.
Sebelumnya, dalam kasus tersebut, KPK menangkap tangan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi di pusat perbelanjaan kawasan Jakarta Selatan. Saat ditangkap KPK menemukan barang bukti uang senilai Rp1,14 miliar. Total uang yang diterima Sanusi sekitar Rp 2 miliar.
Uang tersebut berasal dari bos Podomoro Ariesman Widjaja. Uang tersebut diduga terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Usai melakukan pemeriksaan, KPK pun menetapkan tiga orang tersangka yakni Bos APLN Ariesman Widjaja, Trinanda Prihantoro, dan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi.

Sikap Ahok yang arogan membuat ruwet kelanjutan nasib reklamasi

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diminta lebih bersikap akomodatif dalam menyelesaikan proyek reklamasi yang saat ini dihentikan sementara. Sikap Ahok yang terlalu arogan ke beberapa pihak dianggap membuat ruwet kelanjutan nasib reklamasi.
Mantan menteri kelautan dan perikanan Rokhmin Dahuri mengatakan, Ahok seharusnya tidak terus terbawa emosi. Sebab, proyek reklamasi ini tidak bisa diselesaikan sendiri oleh gubernur DKI.
Ada banyak pihak yang harus terlibat agar kekurangan regulasi dan prosedur amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) bisa dilengkapi. “Sebagai pemimpin harusnya Ahok bersikap bijak jangan selalu arogan dan terbawa emosi menghadapi masalah,” kata dia.
Proyek reklamasi menjadi heboh karena sejak diluncurkan pada 1995 hingga saat ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tidak pernah terbuka kepada rakyat DKI dan warga pesisir Teluk Jakarta. Selama ini proyek reklamasi terlalu senyap. Ketika proyek ini terkendala masalah regulasi dan berujung pada kasus korupsi dan suap-menyuap, seketika itu juga menjadi perhatian publik.
Rokhmin yakin bila Pemprov DKI mau mengikuti semua proses tahapan regulasinya secara benar, proyek reklamasi ini tidak heboh. Ia menyarankan Ahok bisa meletakkan egonya agar penghentian reklamasi ini tidak berdampak semakin buruk.
DPRD dan Pemerintah DKI harus duduk berama dengan menteri kelautan dan perikanan. “Ajak para pakar, masyarakat sekitar, nelayan, LSM ,dan swasta. Kaji ulang dari awal, apa permasalahannya,” ujar dia.
Bila ada yang tersangkut masalah hukum, serahkan ke KPK dan aparat untuk mengusutnya. Tapi, bila reklamasi dianggap belum melengkapi regulasi dan amdal, pemerintah terkait harus mencari jalan keluarnya.
Ia melanjutkan, bila masalahnya terkait lingkungan, bahaslah bersama para pakar untuk mencari bagaimana solusinya. Dan bila ada masyarakat yang merasa dirugikan dan dimarginalkan, ajak berpartisipasi lebih besar dan libatkan hingga menjadi bagian yang menikmati reklamasi ini.

Kasus Sumber Waras

Selasa (12/4/2016), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta keterangan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (BAP) alias Ahok, tentang dugaan tindak pidana korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras, Jakarta. Salah satu persoalan besar, yang menyita perhatian publik dalam kasus ini adalah kejanggalan nilai jual obyek pajak (NJOP).
Hari ini, publik menunggu hasil pemeriksaan KPK, khususnya soal NJOP tersebut. Jika KPK membenarkan bahwa ada kejanggalan dan rekayasa dalam penentuan NJOP, tentu posisi Ahok dalam kasus ini sangat berat.
Dugaan korupsi pembelian RS Sumber Warasa memanas setelah audit investigasi yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghasilkan beberapa temuan penting. Hasil audit ini sudah diserahkan kepada KPK pada awal Desember 2015.
Dalam temuannya, BPK menyebut Ahok bersalah dalam pembelian lahan 3,6 hektare RS Sumber Waras sebesar Rp 755 Miliar. BPK juga menyatakan, terdapat enam penyimpangan dalam proses pembelian lahan, yang tidak mengacu kepada aturan.
Dari beberapa temuan, BPK menilai yang paling fatal adalah terkait Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) RS Sumber Waras yang mencapai Rp 20.755.000 per meter. Padahal versi BPK, seharusnya NJOP untuk tanah yang berlokasi di jalan Tomang Utara itu hanya Rp 7.440.000.
Dari temuan BPK tersebut, banyak pihak kaget dan geram kepada Ahok. Salah satunya adalah Pengamat Kebijakan Publik, Amir Hamzah. Amir mengaku memiliki semua bukti dokumen dan kronologis lengkap terkait konspirasi jahat Ahok dengan sang pemilik lahan ketua yayasan kesehatan RS Sumber Waras, Kartini Mujadi, khususnya dalam menentukan NJOP.
‎”Soal NJOP, ada keanehan yang cukup fundamental. Ya beginilah kalau sejak awal memang proyek ini dipaksakan. Sehingga semuanya penuh rekayasa,” kata Amir beberapa waktu lalu.
Menurut dia, setelah beberapa kali Ahok melakukan pertemuan dengan Kartini Muljadi. Tepat pada tanggal 8 Juli 2014, Ahok sudah menyetujui harga yang ditawarkan pihak yayasan RS S‎umber Waras dengan NJOP sebesar Rp 20.755.000, tanpa melalui prosedur yang semestinya.
“Ingat, yang menentukan NJOP itu bukan Ahok. Tapi harus Dinas Penilaian Pajak‎ Pemrov DKI sebagai pelaksana kebijakan keuangan daerah,” papar Amir.
Menurut Amir, andaikan tidak ada rekayasa dan Ahok melakukannya dengan normal, tanpa ada maksud terselubung, maka sepatutnya transaksi tersebut dilakukan sesuai aturan.
“Jika tidak ada udang dibalik batu, Ahok seharusnya tidak perlu buru-buru, karena dia musti menunggu dulu hingga Dinas Penilaian Pajak mengeluarkan NJOP. Baru setelah itu dilanjutkan dengan transaksi. Kalau ini kan tidak, lahan sudah dibayar, sudah terjadi transaksi di depan notaris, baru NJOP menyusul,” tegasnya.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinilai merupakan sosok yang pandai menyalahkan orang lain. Hal itu dibuktikan dengan cara Ahok menilai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) keliru dalam mengaudit terkait kasus lahan RS Sumber Waras.
Ketua Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) KH Fakhrurozy mengatakan, Ahok sangat pandai menyalahkan orang lain.”Nah itulah Ahok. Dia itu orang yang pandai sekali menyalahkan orang-orang,” kata Fakhrurozy kepada wartawan di kampus UNJ, Rawamangun, Jakarta Timur,  Kamis, 14 Apriul 2016 kemarin.
Fakhrurozy melanjutkan, BPK sudah sesuai dengan undang-undang dan  langkah yang dilakukan lembaga tersebut juga sudah benar.”Itu datanya valid loh. Audit itu sudah benar, eh malah dibilang BPK-nya ngaco,” tambahnya.

PDI-P Minta KPK tak Termakan Omongan Ahok

Ketua DPP PDI-Perjuangan Hendrawan Supratikno mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) independen dalam melihat kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
Jadi tidak bisa, ujar Hendrawan, KPK terbawa opini publik yang diucapkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kalau data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI ngaco alias tidak benar terkait adanya kerugian keuangan daerah sebesar Rp 191 miliar atas lahan Sumber Waras.
“Ya jelas dong, KPK harus independen dan keputusannya tidak diombang-ambing dengan opini publik yang sedang dibangun Ahok,” kata Hendrawan di Gedung Nusantara I DPR, Jakarta, Rabu (13/4/2016).
Untuk itu, Hendrawan meminta kepada publik agar memposisikan kasus Sumber Waras yang diduga melibatkan Ahok secara proposional, dan juga mendorong KPK untuk mengungkap kasus Sumber Waras secepatnya.
“Kita dorong KPK untuk mempercepat pemeriksaan kasus Sumber Waras,” tandasnya.

Ratna Sarumpaet: 1500% Saya Yakin Ahok Korupsi

Koordinator Gerakan Selamatkan Jakarta (GSJ), Ratna Sarumpaet memprediksi, tidak lama lagi Ahok akan menyandang status tersangka.
“Saya yakin, 1500 persen Ahok korupsi. Kalau tidak, kita meminta KPK menjelaskan kenapa Ahok tidak tersangka, karena temuan BPK sudah jelas,” kata Ratna kepada TeropongSenayan di Jakarta, Senin (11/4/2016).
KPK, kata dia, harus segera memastikan Ahok terlibat atau tidak dalam korupsi Sumber Waras.
“KPK harus bisa membuktikan, kami rakyat tidak bisa ditipu begitu saja,” katanya.
Pasalnya, aktivis perempuan itu menjelaskan, dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan data-data yang dikantongi Amir Hamzah sebagai perwakilan masyarakat yang melapor ke KPK tahun lalu menunjukkan aneka kejanggalan dalam pengadaan lahan RS Sumber Waras.
“Yang saya tahu, dari semua fakta dan bukti-bukti yang ada, termasuk dari hasil audit BPK dan data yang dimiliki Amir Hamzah, jelas ada setumpuk penyimpangan yang dilakukan Ahok,” bebernya.
“Jadi, meskipun saya bukan orang ahli hukum, tapi saya bukan orang bodoh. Dan dalam kasus ini Ahok jelas korpusi!,” tegas Ratna.
Selain itu, Ratna juga mengaku tidak habis pikir, mengingat selama kasus RS Sumber Waras mencuat ke publik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak pernah bereaksi apapun.
“Kenapa Jokowi belaga budek (tuli)? Emang dia gak denger ramainya kasus korupsi di Pemprov DKI?. Harusnya, sebagai kepala Negara Jokowi tegur KPK, jangan bikin ribut di Jakarta. Jokowi harus desak KPK agar segera menuntaskan kasus tersebut,” ujar Ratna.
“Jokowi jangan juga coba-coba melindungi Ahok. Sebab kalau dia main-main dalam kasus ini, taruhannya adalah Jokowi tidak akan lagi dipilih rakyat pada Pilpres 2019, ingat itu,” cetus Ratna
Diketahui, penyelidikan kasus RS Sumber Waras sudah berlangsung sejak beberapa bulan. Bahkan, hasil audit investigasi BPK sudah diserahkan ke KPK pada Desember tahun 2015 lalu.
Dalam kesimulannya, BPK menemukan enam penyelewengan pembelian lahan untuk pembangunan RS seluas 3,7 hektar itu.
BPK juga menemukan perbedaan harga nilai jual objek pajak pada lahan di sekitar RS Sumber Waras yakni di Jalan Tomang Raya dengan lahan rumah sakit itu sendiri di Jalan Kyai Tapa.
Sekitar 37 orang saksi juga sudah pernah dimintai keterangan oleh komisi antirasuah tersebut. Namun, hingga kini, kasus RS Sumber Waras tak kunjung tuntas, bahkan belum naik ke penyidikan.

Istana Mulai tak Nyaman dengan Ahok

Sepak terjang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BAP) alias Ahok mulai membuat Istana gerah. Istana disebut-sebut sudah tidak nyaman dengan tingkah politik Ahok yang kerap menyerang lembaga-lembaga negara.
Di antara lembaga negara yang diserang Ahok adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tak tanggung-tanggung, Ahok menyebut BPK ngaco. Penyebabnya karena temuan hasil audit BPK soal pembelian RS Sumber Waras menyeret Ahok dalam lingkaran korupsi.
Lahan tersebut dibeli secara tidak wajar dan tidak sesuai nilai obyek pajak (NJOP), sehingga ada kerugian negara hingga Rp191 miliar. Meski demikian, Ahok tak terima dengan temuan BPK tersebut dan balik menyerang BPK.
“Istana mulai tak nyaman dengan Ahok,” kata seorang sumber terpercayaseperti dilansir TeropongSenayan, Kamis (14/4/2016).
Menurut sumber tersebut, Istana sudah kesulitan mengontrol gaya komunikasi Ahok yang kerap melampaui batas.
“Istana sudah sulit kontrol Ahok.”
Bahkan sumber ini juga menyebutkan bahwa Ahok sendiri sudah tinggal menunggu waktu untuk duduk di kursi pesakitan akibat korupsi. Sebab, penegasan mantan Ketua KPK, Taufiqurrachman Ruki, Ahok sudah layak dijadikan tersangka Sumber Waras.
“Sekarang tunggu saja penegak hukum. Kalau kata Pak Ruki, sudah jelas Ahok korupsi dan mestinya sudah tersangka,” jelasnya.

Ahok Tusuk Jokowi dari Belakang

Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Intelijen)
Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Intelijen)
Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok) telah menikam Presiden Joko Widodo dari belakang. Jokowi menjadi Gubernur Jakarta karena kesederhanaan, kedekatan dan pembelaan Jokowi kepada rakyat kecil. Tetapi sekarang ini keadaan berbalik 180 derajat. Ahok yang meneruskan jabatan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta, justru bersikap bertolak belakang dengan Jokowi.
Penegasan itu disampaikan tokoh masyarakat Tionghoa Jakarta, Lieus Sungkharisma (15/04). “Bahkan kontrak politik yang ditandatangani Jokowi dengan warga Jakarta, tak ada artinya di mata Ahok,” tegas Lieus.
Kata Liues, Ahok yang menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta tak menganggap penting kontrak politik Jokowi itu. “Ini sama artinya Ahok sengaja menjatuhkan kredibilitas Jokowi. Ahok secara terang-terangan menikam Jokowi dari belakang,” ujar Lius.
Lieus menegaskan, atas semua tindakan arogan Ahok itu, bukan saja tak menghormati kontrak politik yang dibuat Jokowi, tapi Ahok benar-benar telah merusak kredibilitas dan kedekatan Jokowi dengan rakyat. “Ahok ternyata lebih tunduk pada kehendak para konglomerat ketimbang pada Pak Jokowi,” kata Lieus.
Kini, kata Lieus, warga Jakarta benar-benar sudah merasa muak dan marah dengan perilaku Ahok. Karena itu Lieus meminta agar Presiden Jokowi yang telah menjadikan Ahok sebagai Gubernur Jakarta, harus bertanggungjawab dan turun tangan langsung terhadap persoalan yang kini terjadi di Jakarta.

Ahok Singgung Kontrak Politik Jokowi dan Warga Muara Baru

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyinggung kontrak politik Joko Widodo (Jokowi) dengan warga Muara Baru pada tahun 2012 silam.
Dalam merumuskan kontrak politik, Ahok hadir bersama Jokowi yang saat itu menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Keduanya bertemu dengan warga Tembok Bolong, Waduk Pluit, Muara Baru, Jakarta Utara.
“Saya juga ke sana. Mereka tidak tahu itu (rumahnya) masuk Ruang Terbuka Hijau. Janji kami akan bangun rumah susun (rusun) yang bukan jalur hijau,” kata Ahok di Kantor Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (14/4).
Rusun yang dimaksud yakni Rusun Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur. Rusun ini juga dihuni oleh sebagian warga yang tergusur dari rumahnya di Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara.
Beberapa dari warga yang tinggal tidak di kawasan ruang terbuka hijau di Pluit, dibuatkan rumah deret dan diberikan sertifikat. Ahok mengklaim pemerintah telah melakukannya.
“Kami pindahkan ke Kali Bebek. Sekarang salah kami dimana? Ini cuma dipolitisir,” katanya.
Ahok mengklaim tak memanfaatkan warga setempat untuk mendukung dirinya dengan Jokowi dalam Pilkada 2012 lalu.
Untuk diketahui, kontrak politik ini diteken pada 15 September 2012 dengan judul “Jakarta Baru: Pro Rakyat Miskin, Berbasis Pelayanan dan Partisipasi Warga”.
Dalam poin pertama, tertuang bahwa warga dilibatkan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah, penyususan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan kota.
Pada poin kedua, Jokowi menyepakati pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga kota untuk melegalisasi kampung ilegal, pemukiman kumuh tidak digusur tapi ditata, dan perlindungan serta penataan ekonomi informal untuk para pedagang kaki lima, pengayuh becak, nelayan tradisional, pekerja rumah tangga, pedagang asongan, dan lainnya.

Skenario “penghancuran” Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Tokoh Tim Pembela Muslim (TPM), Mahendradatta membeberkan skenario “penghancuran” Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terkait kasus korupsi pengadaan lahan RS Sumber Waras.
Mahendradatta mengutip skenario “blaming game” yang dijalankan pendukung Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Menurut Mahendradatta, yang menjadi target awal blaming game kubu Ahok adalah Eddy Mulyadi Soepardi, anggota BPK periode 2014-2019, dan Ketua BPK Harry Azhar Azis.
“Blaming Game ke @bpkri mulai jalan, semula Prof Edi (pj audit investigasi) krn akademisi lurus, cari-cari nemu Harry Azhar yang tidak ikut-ikut RSSW,” beber Mahendradatta melalui akun Twitter ‏@mahendradatta.
Selanjutnya, jika blaming game berjalan, kata Mahendradatta kubu Ahok berharap BPK RI hancur. “Terus kalau @bpkri hancur (padahal gak mungkin) LHP tentang Kerugian Negara RSSW diubah gitu? Mimpi !!,” tegas ‏@mahendradatta.
Sebelumnya, desakan pendukung Ahok untuk mencopot Harry Azhar Azis dari kursi Ketua BPK menguat setelah dikait-kaitkan dengan dokumen Panama Papers, di mana nama Harry tercantum.
Namun demikian, hari ini (15/04), Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi menegaskan bahwa soal Panama Papers, Harry Azhar Azis bersih. Hal itu disampaikan Ken setelah Harry melakukan klarifikasi pajak di kantor Direktorat Jenderal Pajak di jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (15/04).
Dalam kesempatan itu, Dwi meminta publik untuk tidak terprovokasi pemberitaan mengenai penyebutan nama Harry dalam dokumen ‘Panama Papers’. “Nggak ada masalah. Hanya itu tugas Dirjen Pajak mengklarifikasi. Apakah di SPT (Surat Pajak Tahunan) beliau bayar pajak apa nggak. Kalau kurang ya dibayar, kalau lebih tak kembalikan,” ujar Dwi seperti dikutip teropongsenayan (15/04).

Ahok Bisa Blak-blakkan Ungkap Korupsi TransJakarta

Bakal calon Gubernur DKI Jakarta Ahmad Dhani meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk berhati-hati menetapkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka. Alasannya, Ahok akan membongkar skandal korupsi pengadaan armada TransJakarta.
“Hati hati KPK tetapkan Ahok tersangka…nanti bisa-bisa Ahok blak-blakkan masalah TransJakarta…Bos kena,” tulis musisi kondang itu di akun Twitter ‏@AHMADDHANIPRAST.
Suami penyanyi Mulan Jameela itu mensinyalir, Presiden Joko Widodo akan melindungi Ahok. “Ke PeDe an Ahok itu meng-isyaratkan bahwa dia dilindungi Presiden…siapa lagi?…ADP,” tegas ‏@AHMADDHANIPRAST.
Di sisi lain, secara berseloroh pemilik Republik Cinta Menejemen itu meminta Presiden Jokowi untuk menjadikan Ahok sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. “Pak Joko,mending Ahok dijadikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara…cocok banget,” kicau ‏@AHMADDHANIPRAST.
Diberitakan sebelumnya, pendiri Barisan Putra Putri Indonesia (Bara Api) Eka Gumilar menegaskan bahwa tak ada alasan logis yang membenarkan Ahok bebas dari jerat hukum kasus korupsi. “Tak ada alasan logis yang membenarkan AHOK bebas….!AHOK harus jadi tersangka segera dan ditangkap!Masa BPK yg dibubarin?itu amanat UUD bro,” tulis Eka Gumilar di akun Twitter @ekagumilars.
Salah satu tokoh yang tercatat dalam “Seratus Tokoh Bangsa” ini mengingatkan agar negara tidak diobok-obok demi menyelamatkan Ahok dari jerat hukum. “Kebolak balik kalau BPK sudah menyimpulkan ada pelangaran, KPK malah membebaskan kan? masa demi Ahok negara diobok obok…..MABOK!” tegas @ekagumilars.
Sahabat dekat Rachmawati Soekarnoputri ini menilai, bahwa yang menjadi masalah saat ini terkait Ahok hanya masalah KPK mengatasi intervensi kasus Ahok. “Ini bukan masalah cukup alat bukti atau tidak untuk menjerat Ahok,mungkin ini hanya masalah KPK mengatasi intervensi kasus Ahok yang terlalu kuat?” tulis @ekagumilars.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar