Selasa, 19 April 2016

Mengungkap Sosok Nyoman Rai Srimben

Mungkin selama ini tak banyak yang mengupas sosok Nyoman Rai Srimben. Padahal perempuan ini secara tak langsung memiliki andil dalam berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 
Ya, Srimben, yang merupakan perempuan kelahiran Lingkungan Bale Agung, Kelurahan Paket Agung, Buleleng itu, adalah ibu kandung dari Ir. Soekarno, sang proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia
135931_464501_soekarno_ibu.jpg
Keluarga bale agung datang ke Blitar pasca 40 hari meninggalnya Ni Nyoman Srimben, ibunda Ir Soekarno. FOTO: Repro Eka rasetya/Baliexpressnews.com

Tak mudah melacak kisah kehidupan Rai Srimben di Bale Agung. Minimnya catatan sejarah, menyebabkan sosok Rai Srimben kurang begitu dikenal.
Namanya baru dikenal dan banyak muncul dalam catatan media-media di Indonesia, setelah Soekarno menduduki kursi kepresidenan. Sebelum itu praktis tak ada catatan yang muncul.
Saat ini ada dua orang penutur yang juga tokoh di Lingkungan Bale Agung, yang paham betul dengan kisah hidup Rai Srimben.
Mereka adalah Gede Pastika dan Made Hardika. Keduanya mempertahankan cerita yang berasal dari tutur pendahulunya. Keduanya mempertahankan cerita itu dan menuangkannya dalam bentuk tulisan-tulisan sederhana, termasuk dalam bentuk rekaman suara.
Tak ada data sahih soal kelahiran Nyoman Rai Srimben. Namun dia diperkirakan lahir pada tahun 1881 silam. Srimben berasal dari keluarga rohaniawan yang mengurus masalah keagamaan dan adat istiadat di Pura Bale Agung. Ayahnya, I Nyoman Pasek adalah pemangku di Pura Bale Agung.
Sementara ibunya, Ni Made Liran adalah wanita Bali yang mengurus masalah upakara dan upacara di Pura Bale Agung. Dari pasangan I Nyoman Pasek dan Ni Made Liran, lahirlah I Made Pasek dan Nyoman Rai Srimben.
Tidak banyak yang tahu bahwa Srimben lahir dari keluarga yang bisa dikatakan broken home. Ayahnya menikah memiliki istri kedua yang bernama Ni Sukenyeri.
Ni Sukenyeri dan Ni Made Liran sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan, karena memang pada saat itu perkawinan di perbekelan (istilah desa pada zaman tersebut, Red) Bale Agung hanya berlangsung antar kerabat saja.
Karena ogah dimadu, Ni Made Liran memilih pulang ke rumahnya semasa gadis. Antara rumah Ni Made Liran semasa gadis dengan semasa menikah dengan I Nyoman Pasek, jaraknya tak sampai 40 meter.
“Terus terang masa kecil Nyoman Rai Srimben, kalau sekarang itu istilahnya broken home. Ibunya Srimben, Ni Made Liran, walaupun dimadu dengan saudara sendiri, sebenarnya dia tidak ikhlas juga dimadu. Akhirnya tinggal di rumah bajang (gadis, Red) sampai Ni Made Liran sakit dan meninggal dunia.
Waktu itu Rai Srimben masih kecil,” jelas Made Hardika yang ditemui di Pura Bale Agung, Kamis (7/4). Dari cerita turun temurun, menurut Hardika, Srimben tinggal bersama ayahnya I Nyoman Pasek, hingga usia lima tahun saja.
Selebihnya ia tinggal bersama ibunya di rumah semasa gadis. Begitu ibunya mangkat, Srimben diasuh oleh Ni Ketut Nesa yang tak lain adik dari Ni Made Liran.
Sejak usia lima tahun hingga akhirnya menikah dengan Raden Soekemi Sosrodiharjo, Nyoman Rai Srimben diasuh oleh Ni Ketut Nesa. Semasa remaja, Nyoman Rai Srimben lebih banyak beraktivitas di Lingkungan Bale Agung. Srimben tak pernah mengenyam pendidikan formal. Karena berasal dari keluarga pemuka agama, Srimben juga banyak bersentuhan dengan kegiatan adat dan keagamaan.
Ia diketahui bergabung dengan pesaren atau Sekaa Truni pada masa itu. Tugasnya di pesaren adalah menarikan tari rejang yang sakral setiap kali piodalan di Pura Bale Agung. Selain itu ia juga lebih banyak menenun membuat kain songket atau kain endek.
“Pada zaman itu tempat paling efektif bersosialisasi di kalangan wanita itu, selain di upacara yadnya, ya saat menenun,” imbuh Hardika. Singkat cerita Nyoman Rai Srimben bertemu dengan Raden Soekeni Sosrodiharjo pada tahun 1890-an.
Raden Soekeni yang saat itu ditugaskan sebagai guru di Sekolah Rakyat (SR) 1 Singaraja – kini SDN 1 Paket Agung – oleh pemerintahan kolonial, jatuh cinta pada Srimben saat melihat Srimben menari rejang di Pura Bale Agung, tepat saat umanis galungan.
Saat itu Soekeni yang memiliki darah biru dari Panembahan Senopati dan Sunan Kalijaga itu sempat melempar Srimben menggunakan bunga cempaka. Konon Soekeni sudah sering melihat Srimben saat menenun.
Keduanya kemudian kawin lari. Kawin lari adalah hal yang sangat ditentang oleh penglingsir di Bale Agung. Pernikahan itu dianggap melanggar tradisi yang ada, karena di Bale Agung, wanita tak boleh dipersunting pihak luar.
Pernikahan itu pun menyebabkan Raden Sukemi harus menjalani persidangan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menganggap Sukemi menyebabkan kegaduhan di masyarakat, kegelisahan para tokoh, dan kekacauan pada sistem tatanan adat di Bale Agung.
Soekeni saat itu dijatuhi sanksi denda sebesar 40 ringgit, karena terbukti menyebabkan kegaduhan. Salah satunya melakukan pernikahan dalam tradisi Jawa, tanpa persetujuan keluarga, atau yang kini dikenal dengan kawin lari.
Denda itu akhirnya dibayar Nyoman Rai Srimben dengan perhiasan yang ia miliki. Soekeni dan Srimben akhirnya tinggal di wilayah perbekelan Banjar Paketan, tepatnya di rumah Pan Sedana Mertia.
Sejak kawin lari, Srimben pun tak pernah pulang ke rumah gadisnya di perbekelan Bale Agung, meskipun jaraknya tak seberapa jauh.
Rumah yang ditinggali Soekeni dan Srimben sempat roboh karena usianya yang sudah terlampau tua. Namun rumah itu kembali dibangun dalam bentuk yang persis sama, hanya bahan bangunannya yang berbeda. Rumah itu kini dimiliki Komang Suma Artana, yang juga Kepala Lingkungan Banjar Paketan.
Semasa tinggal di rumah tersebut, Nyoman Rai Srimben melahirkan anak pertamanya, yakni Soekarmini. Raden Soekeni Sosrodiharjo, Nyoman Rai Srimben, dan Soekarmini akhirnya diboyong ke Surabaya pada tahun 1900.
Hingga akhirnya ia melahirkan Ir. Soekarno di Jalan Kepandean, dekat Paneleh, Surabaya, pada 6 Juni 1901. Srimben pun tak pernah kembali lagi ke rumah gadisnya hingga mangkat pada Jumat Kliwon, 12 September 1958. [source]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar