Selasa, 19 April 2016

Filosofi Religi dari Bendera Merah Putih & Angka 17

Dalam buku berjudul ‘Api Sejarah’ karya Ahmad Mansur Suryanegara, disebutkan bendera Republik Indonesia (RI), Sang Saka Merah Putih, adalah Bendera Rasulullah Muhammad SAW.
Para ulama berjuang untuk mengenalkan Sang Saka Merah Putih sebagai bendera Rasulullah SAW kepada bangsa Indonesia dengan mengajarkannya kembali sejak Abad Ketujuh Masehi atau abad kesatu Hijriah. Masa ini bertepatan dengan masuknya agama Islam ke Nusantara.
Mansyur menyatakan para ulama membudayakan bendera merah putih dengan berbagai sarana antara lain tiga cara berikut:
Pertama, setiap awal pembicaraan atau pengantar buku, sering diucapkan atau dituliskan istilah Sekapur Sirih dan Seulas Pinang. Bukankah kapur dengan sirih akan melahirkan warna merah? Lalu, apabila buah pinang diiris atau dibelah, akan terlihat di dalamnya berwara putih?
Kedua, budaya menyambut kelahiran dan pemberian nama bayi serta Tahun Baru Islam senantiasa dirayakan dengan menyajikan bubur merah putih?
Ketiga, pada saat membangun rumah, di susunan atas dikibarkan Sang Merah Putih. Setiap hari Jum’at, mimbar Jum’at di Masjid Agung atau Masjid Raya dihiasi dengan bendera merah putih.
Mansyur pun menyatakan pendekatan budaya yang dilakukan para ulama telah menjadikan pemerintah kolonial Belanda tidak sanggup melarang pengibaran bendera merah putih oleh rakyat Indonesia.
Mansyur menegaskan bendera Rasulullah SAW berwarna Merah Putih seperti yang ditulis oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Fitan, Jilid X, halaman 340. Dari Hamisy Qasthalani,
Rasulullah SAW Bersabda: “Innallaha zawaliyal ardha masyaariqaha wa maghariba ha wa a’thonil kanzaini Al-Ahmar wal Abjadh”.
Artinya: “Allah menunjukkan kepadaku (Rasul) dunia. Allah menunjukkan pula timur dan barat. Allah menganugerahkan dua perbendaharaan kepadaku: Merah Putih”.
Informasi ini didapat Mansyur dari buku berjudul Kelengkapan Hadits Qudsi yang dibuat Lembaga Al-Qur’an dan Al-Hadits Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Kementerian Waqaf Mesir pada 1982, halaman 357-374. Buku ini dalam versi bahasa Indonesia dengan alih bahasa oleh Muhammad Zuhri.
Mansyur mengemukakan sejumlah argumen pendukung untuk memperkuat pendapatnya, yakni merah putih adalah bendera Rasulullah Muhammad SAW.
Menurut Mansyur, Rasulullah Muhammad SAW memanggil istrinya, Siti Aisyah ra, dengan sebutan Humairah yang artinya merah.
Busana Rasulullah SAW yang indah juga berwarna merah, seperti disampaikan oleh Al Barra: “Kanan Nabiyu Saw marbua’an wa qadra ataituhu fi hullathin hamra-a, Ma raitu syaian ahsana min hu”
Artinya: “Pada suatu hari Nabi SAW duduk bersila dan aku melihatnya beliau memakai hullah (busana rangkap dua) yang berwarna merah. Aku belum pernah melihat pakaian seindah itu”.
Mansyur pun menyatakan busana warna putih juga dikenakan oleh Rasulullah SAW, sedangkan pedang Sayidina Ali ra berwarna merah dan sarung pedang Khalid bin Walid berwarna merah-putih.

Angka 17

Dalam buku berjudul ‘Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’  karya Cindy Adams, diceritakan bahwa dalam suatu pertemuan di kediaman Soekarno, 15 Agustus 1945 malam, Soekarno bertemu dengan sejumlah pemuda dan terlibat pembicaraan serius dengan mereka.
Saat  itu, sekitar pukul 22.00 WIB, Soekarno mengaku sedang sibuk merencanakan perincian strategi untuk proklamasi dengan dua orang rekannya, Sajuti Melik dan istrnya Trimurti, yang menjadi sekretaris Soekarno.
Beberapa pemuda seperti Khairul Saleh, Wikana dan Sukarni terlibat pembicaraan tegang dan serius dengan Soekarno pada 15 Agustus 1945 malam itu. Dalam salah satu bagian dialog itu, Soekarno menyatakan hal paling penting di dalam perperangan atau revolusi adalah saatnya yang tepat. Sewaktu berada di Kota Saigon, Vietnam, tepatnya saat menemui Jenderal Terauchi, Soekarno mengaku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 Agustus.
Lalu Sukarni pun bertanya: “Mengapa justru diambil tanggal 17 Agustus? Mengapa tidak sekarang saja atau tanggal 16 Agustus?”
Dengan suara rendah dan tenang, Soekarno menjawab pertanyaan Sukarni: “Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan secara pertimbangan akal mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Namun, saya merasakan di dalam kalbuku bahwa waktu dua hari lagi adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka keramat, 17 adalah angka suci,” papar Sukarno kepada Sukarni.
“Pertama-tama, kita sedang berada dalam bulan Ramadhan, waktu kita semua berpuasa. Bukankah begitu?” ujar Sukarno. Sukarni pun menjawab: “Ya”.
Sukarno pun kembali bertanya: “Ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Bukan begitu?”  “Ya,” jawab Sukarni.
“Hari Jum’at ini Jum’at Legi. Jum’at yang berbahagia. Jum’at suci. Dan hari Jum’at adalah tanggal 17. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 raka’at dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 raka’at, mengapa tidak 10 atau 20 saja? Ini karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” papar Sukarno kepada Sukarni.
Sukarno pun melanjutkan pernyataannya kepada Cindy Adams, penulis buku ini. “Pada waktu saya mendengar berita penyerahan Jepang, saya berpikir bahwa kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian saya menyadari, adalah Kemauan Tuhan peristiwa ini akan jatuh di hari-Nya yang keramat. Proklamasi akan diumumkan tanggal 17. Revolusi menyusul setelah itu,” ungkap Sukarno. [source]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar